“BOSAN ITU PENTING?” — PERAN RASA BOSAN DALAM MEMICU KREATIVITAS OTAK MANUSIA

Sumber Foto: Suara

WARTAALENGKA, Cianjur – Di tengah dunia yang dipenuhi oleh rangsangan digital, manusia semakin dijauhkan dari waktu-waktu kosong yang sebelumnya lazim dialami dalam kehidupan sehari-hari. Segala momen ‘diam’ kini bisa segera diisi oleh scroll media sosial, video pendek, atau notifikasi yang datang tak henti. Namun, apa dampaknya bagi otak manusia, terutama dalam hal berpikir kreatif?

Penelitian terbaru dari University of Central Lancashire menunjukkan bahwa kebosanan tidak hanya kondisi mental yang pasif, tetapi justru memicu otak untuk mencari solusi kreatif sebagai bentuk pelarian. Dalam eksperimen tersebut, partisipan yang sebelumnya diberikan tugas monoton menunjukkan peningkatan kemampuan menghasilkan ide-ide orisinal dibanding kelompok yang selalu aktif secara kognitif.

Kebosanan pada dasarnya adalah kondisi di mana otak mengalami understimulation—sebuah situasi langka dalam masyarakat modern yang terus-menerus menuntut produktivitas. Ketika rangsangan eksternal berkurang, otak beralih ke dunia internalnya: melakukan refleksi, asosiasi bebas, dan konstruksi mental yang menjadi dasar dari pemikiran kreatif.

Dalam The Neuroscience of Creativity, dijelaskan bahwa otak manusia memiliki dua sistem utama dalam berpikir: focused mode dan diffused mode. Mode fokus dominan saat kita menyelesaikan tugas spesifik, namun mode difus—yang lebih longgar dan tidak langsung—justru sering memunculkan koneksi ide-ide baru yang tidak terduga. Rasa bosan membuka jalan bagi mode difus untuk aktif.

Ini diperkuat oleh studi dari Harvard University yang menemukan bahwa ketika otak ‘beristirahat’ dari tugas yang menuntut fokus, aktivitas pada jaringan default mode network (DMN) meningkat. DMN berkaitan erat dengan imajinasi, introspeksi, dan mental simulation—semua elemen penting dalam proses kreatif.

Dengan kata lain, kebosanan memberi waktu bagi DMN untuk ‘mengembara’. Aktivitas ini mirip dengan anak kecil yang bermain imajinatif di taman; tanpa arahan yang jelas, mereka membentuk dunia mereka sendiri. Otak orang dewasa pun bekerja serupa saat diberi ruang kosong.

Sayangnya, budaya digital modern menempatkan kebosanan sebagai musuh. Banyak aplikasi dirancang untuk retention time maksimal, membuat otak tidak pernah diberi kesempatan untuk merasa bosan. Akibatnya, banyak individu mengalami creative fatigue—kelelahan dalam menciptakan ide baru meski secara teknis ‘aktif’ sepanjang waktu.

Dalam konteks pendidikan dan pekerjaan, ketidakhadiran kebosanan juga menurunkan divergent thinking, kemampuan untuk menemukan banyak solusi berbeda untuk satu masalah. Peneliti di Stanford University menunjukkan bahwa siswa yang memiliki waktu bebas tanpa gadget setelah belajar menunjukkan performa kreatif yang lebih tinggi dibanding mereka yang langsung terpapar konten digital.

Namun demikian, penting untuk membedakan antara kebosanan yang sehat dan kebosanan yang destruktif. Kebosanan produktif terjadi saat otak berada dalam kondisi netral, tenang, dan tidak tertekan. Sementara kebosanan destruktif muncul dalam konteks stres, kelelahan, atau kurangnya kontrol terhadap waktu sendiri. Maka, manajemen waktu dan ruang digital menjadi krusial.

Salah satu teknik yang banyak digunakan untuk mengundang kebosanan produktif adalah mind-wandering walk—berjalan kaki tanpa tujuan sambil membiarkan pikiran berkelana. Praktik ini terbukti meningkatkan kapasitas berpikir reflektif dan menghasilkan ide segar dalam berbagai studi psikologi kognitif.

Bahkan para tokoh besar dalam sejarah, seperti Albert Einstein dan Nikola Tesla, diketahui sering menghabiskan waktu dalam keheningan atau kegiatan rutin seperti berjalan sendiri atau duduk merenung. Mereka memahami bahwa ‘waktu hampa’ justru bisa menjadi ladang subur bagi kemunculan gagasan revolusioner.

Dalam budaya kerja modern, ini menjadi tantangan besar. Banyak organisasi yang mendorong produktivitas tanpa henti, menganggap waktu diam sebagai kemalasan. Padahal, ruang untuk jenuh dan tidak melakukan apa-apa bisa menjadi investasi jangka panjang untuk inovasi.

Maka, perlu ada redefinisi terhadap waktu ‘tidak produktif’. Seperti halnya otot yang membutuhkan istirahat setelah latihan berat, otak juga memerlukan waktu tanpa rangsangan untuk mengonsolidasi dan mencipta. Inilah fase creative incubation yang sering diabaikan dalam dunia kerja yang terlalu mengejar hasil cepat.

Kesimpulannya, rasa bosan bukanlah kelemahan mental, tetapi sinyal bahwa otak sedang dalam proses ‘penyusunan ulang’. Memberikan ruang untuk kebosanan berarti memberi ruang untuk kreativitas. Dalam dunia yang terus berlari, terkadang yang paling radikal adalah berani berhenti. (WA/Ow)

Lebih baru Lebih lama