WARTAALENGKA,
Cianjur – Dalam lanskap perfilman Indonesia, terutama
dalam genre animasi, Jumbo muncul sebagai kejutan besar yang langsung
menyita perhatian publik. Dirilis pada Maret 2025 oleh Visinema Studios, film
ini berhasil mencetak rekor sebagai film animasi lokal dengan jumlah penonton
terbanyak dalam waktu singkat—mencapai lebih dari dua juta dalam beberapa
minggu pertama penayangan.
Film
ini disutradarai oleh Ryan Adriandhy, sosok kreatif yang sebelumnya dikenal di
dunia stand-up comedy, namun kini membuktikan kapasitasnya dalam menyutradarai
sebuah kisah anak yang emosional dan menyentuh. Jumbo tak sekadar
menghibur lewat visual yang menarik, tetapi juga membawa pesan kuat tentang
keberanian, penerimaan diri, dan pentingnya persahabatan sejati.
Cerita
Jumbo berfokus pada Don, seorang bocah laki-laki berusia 10 tahun yang
tinggal di panti asuhan. Tubuhnya besar, sifatnya pemalu, dan sering menjadi
korban ejekan teman-temannya. Don hanya memiliki satu harta paling berharga:
sebuah buku dongeng peninggalan orang tuanya. Buku itu menjadi satu-satunya
penghibur di tengah kesepian dan tekanan sosial yang ia alami setiap hari.
Namun,
dunia Don berubah drastis ketika bukunya dicuri oleh teman sekelas yang usil.
Dalam upayanya untuk mendapatkan kembali buku tersebut, Don justru terseret ke
dunia dongeng ciptaannya sendiri—sebuah dunia imajinatif tempat ia bertemu
dengan karakter magis bernama Meri, seekor peri kecil yang menjadi kawan
sekaligus pemandunya. Di sinilah perjalanan magis Don dimulai, dan secara
perlahan ia menemukan keberanian serta jati diri yang selama ini tersembunyi.
Yang
membuat film ini istimewa adalah bagaimana cerita petualangan Don dikembangkan
bukan sebagai fantasi kosong, tetapi sebagai cerminan realitas anak-anak yang
merasa tersingkir atau kurang diterima oleh lingkungan. Perjalanan Don adalah
metafora dari perjuangan batin anak-anak yang mencari validasi, kasih sayang,
dan makna hidup—dan film ini mengemasnya dengan cara yang halus tapi kuat.
Dari
segi teknis, Jumbo adalah karya yang sangat mengesankan untuk ukuran
animasi lokal. Warna-warna cerah namun lembut digunakan untuk menggambarkan
dunia dongeng yang ajaib, sementara adegan-adegan panti asuhan sengaja dibuat
lebih suram dan dingin. Kontras visual ini menciptakan efek emosional yang
dalam dan menyelaraskan suasana hati penonton dengan perjalanan karakter.
Animasi
karakter juga terasa hidup dan ekspresif. Tim produksi sukses menyuntikkan
detail pada gerak-gerik, ekspresi wajah, hingga interaksi antar karakter. Yang
menarik, film ini tidak sekadar bertumpu pada visual, tapi juga pada narasi
yang kuat. Setiap adegan memiliki kontribusi terhadap perkembangan karakter
Don, baik secara emosional maupun psikologis.
Tak
kalah penting adalah kualitas pengisi suara yang menonjol. Prince Poetiray
sebagai Don mampu menyampaikan emosi kompleks anak-anak yang rapuh tapi kuat.
Graciella Abigail sebagai Meri memberikan warna ceria namun tajam dalam
karakter peri kecil yang cerdik dan suportif. Sementara Yusuf Özkan sebagai
antagonis menyuguhkan suara yang pas sebagai karakter pengganggu, namun tetap
manusiawi.
Secara
musikal, Jumbo juga berhasil menyentuh hati. Musik latar yang
dikomposisikan dengan baik mengiringi momen-momen penting tanpa berlebihan.
Adegan klimaks saat Don harus membuat pilihan penting di dunia dongeng, menjadi
salah satu momen paling emosional yang disertai musik yang menggetarkan.
Yang
tak kalah berkesan adalah pesan moral yang terselip tanpa terkesan menggurui. Jumbo
berbicara tentang penerimaan diri, menghargai keberbedaan, dan pentingnya
memiliki seseorang yang percaya pada kita. Bagi anak-anak, ini adalah pelajaran
berharga. Bagi orang dewasa, ini adalah pengingat bahwa setiap anak butuh ruang
untuk berkembang sesuai potensinya.
Film
ini juga berhasil menyentuh lapisan emosi yang lebih dalam. Banyak penonton
mengaku tak kuasa menahan air mata, terutama saat Don menyadari bahwa
keberanian sejati datang dari dalam dirinya sendiri, bukan dari dunia dongeng.
Satu adegan yang banyak dibicarakan di media sosial adalah ketika Don akhirnya
melepaskan buku dongengnya—tanda bahwa ia telah menerima kehilangan dan siap
menatap masa depan.
Di
tengah dominasi film-film luar negeri dan animasi global, Jumbo adalah
angin segar sekaligus pengingat bahwa anak bangsa mampu menghasilkan karya yang
tak kalah membanggakan. Apresiasi pun datang dari berbagai pihak, termasuk
sineas senior dan komunitas perfilman Indonesia yang menyebut film ini sebagai
"tolak ukur baru animasi lokal."
Film
ini layak dijadikan referensi pendidikan, tidak hanya karena teknis produksinya
yang canggih, tetapi juga karena pesan-pesan sosial dan emosional yang
dikandungnya. Bagi guru, orang tua, maupun psikolog anak, Jumbo bisa
menjadi bahan diskusi yang menyenangkan namun sarat makna.
Kesimpulannya,
Jumbo bukan sekadar film animasi. Ia adalah karya seni yang
menggabungkan cerita, pesan moral, visual, dan musik secara harmonis. Ia bukan
hanya ditujukan untuk anak-anak, tetapi juga orang dewasa yang masih menyimpan
luka masa kecil atau yang ingin memahami lebih dalam tentang dunia anak. Film
ini layak ditonton, diapresiasi, dan dibicarakan. (WA/ Ow)