SKANDAL KREDIT MACET SRITEX: NEGARA RUGI RP692 MILIAR, 11 RIBU PEKERJA TERLANTAR, DAN DUGAAN KORUPSI TERSTRUKTUR

 

Sumber Foto: Kompas

WARTAALENGKA, Cianjur - Kasus dugaan korupsi dalam pemberian kredit kepada PT Sri Rejeki Isman Tbk Sritex) terus bergulir. Kejaksaan Agung Kejagung) tengah menyelidiki potensi kerugian negara sebesar Rp692,9 miliar akibat kredit macet senilai Rp3,5 triliun yang diberikan oleh sejumlah bank kepada perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara ini.

Penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Jampidsus) masih berada pada tahap umum. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa penyidik tengah mengumpulkan bukti untuk menentukan adanya perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau daerah.

"Penyidikan ini masih bersifat umum dan belum bersifat khusus karena masih melihat apakah di sana ada fakta-fakta hukum yang mengungkapkan bahwa ada perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara atau keuangan daerah," ujar Harli.

Sejumlah pejabat bank telah diperiksa untuk mendalami keterlibatan mereka dalam pemberian kredit kepada Sritex. Namun, identitas bank-bank tersebut belum diungkap secara resmi oleh Kejagung.

Kasus ini mencuat setelah Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024. Perusahaan tersebut tidak mampu membayar utang sebesar Rp32,6 triliun, yang terdiri dari tagihan kreditor preferen sebesar Rp691 miliar, kreditor separatis sebesar Rp7,2 triliun, dan kreditor konkuren mencapai Rp24,7 triliun.

Akibat kepailitan tersebut, Sritex menghentikan seluruh operasionalnya per 1 Maret 2025. Sebanyak 11.025 pekerja terkena pemutusan hubungan kerja PHK), menjadikan kasus ini sebagai salah satu gelombang PHK terbesar dalam industri tekstil nasional dalam beberapa tahun terakhir.

Dugaan korupsi dalam pemberian kredit kepada Sritex mencakup pemberian pinjaman tanpa jaminan unsecured loan) oleh beberapa bank, termasuk Bank Jabar Banten BJB), Bank Jateng, Bank DKI, dan BNI. Pada Maret 2019, Sritex menerima pinjaman sebesar Rp554 miliar dari BJB tanpa jaminan, meskipun kondisi keuangan perusahaan sudah mulai memburuk.

Penyidikan juga menyoroti kemungkinan adanya manipulasi dalam proses pemberian kredit, termasuk pemalsuan dokumen keuangan, penggelembungan aset, dan pencucian uang. Kejagung tengah menelusuri apakah terdapat praktik korupsi terstruktur yang melibatkan manajemen Sritex dan pihak perbankan.

Harli Siregar menegaskan bahwa meskipun Sritex telah dinyatakan pailit, penyidikan tetap dilanjutkan karena adanya dugaan kerugian keuangan negara. "Karena ada dana yang ditempatkan di sana oleh negara dan yang dipisahkan. Nah itu juga bagian dari keuangan negara sebagaimana penjelasan dalam Undang-Undang nomor) 17 tahun 2003)," katanya.

Kasus ini menjadi perhatian publik karena besarnya nilai kredit yang mengalir ke Sritex sebelum perusahaan itu bangkrut, serta dampak besar terhadap para pekerja dan perekonomian lokal. Penyidikan oleh Kejagung diharapkan dapat mengungkap dugaan korupsi yang memperburuk kondisi keuangan perusahaan dan mempercepat kehancuran operasional Sritex.

Kejagung juga tengah menelusuri kemungkinan keterlibatan penyelenggara negara dalam kasus tersebut. "Itu juga yang diteliti. Makanya masih bersifat umum," ujar Harli.

Dari dokumen awal penyelidikan, dugaan korupsi merentang dari pemalsuan dokumen keuangan, penggelembungan aset, hingga pencucian uang. Jika terbukti, maka kita tidak hanya berhadapan dengan praktik korupsi, melainkan juga sabotase terhadap sistem keuangan nasional.

Pertanyaan lain yang lebih tajam: ke mana pengawasan otoritas keuangan negara selama ini? Mengapa OJK, LPS, bahkan Bank Indonesia tak menangkap sinyal bahaya sejak awal?

Penyidikan oleh Kejagung diharapkan dapat mengungkap dugaan korupsi yang memperburuk kondisi keuangan perusahaan dan mempercepat kehancuran operasional Sritex. Publik menantikan kejelasan dan keadilan dalam penanganan kasus ini. (WA/Ow)


Lebih baru Lebih lama